Kamis, 28 Juni 2012

Raport

AAALLLOOOOWWWWW!!! Masih ingat gue kan? *Harus ingat!* Kali ini gue mau ngebahas nilai raport gue lho... dengerin ngapa! Awas sampe pindah ke link laen!
Oke! Nilai gue taon ini membaik dari pada sebelumnya. *alhamdulillah* Tapi masih agak kecewa juga sih.. si angka tujuh masih numpang di raport!. *Huh!* Tapi nggak papa lah! Ini masih awalnya. Moga aja deh situ (si tujuh) nggak nemplok lagi taon berikutnya.
Tebak! Gue masuk jurusan apa? Hayoo.. tebak! Nggak tau kan? Gue masuk jurusan IPA! Nggak bangga juga sih, soalnya gue pengen masuk jurusan IPS getoh.
Gini ceritanya, awal ajaran, sebenernya gue udah tekad buat masuk jurusan IPA! Tapi setelah dijalani.. ternyata ekonomi yag paling gue suka! Trus gue mau pindah jurusan, eh malah gue kelupaan ngasih tau guru BP! *bego! bego! bego!* Jadi deh sekarang gue kembali kerencana semula. Tapi.. nggak papa ah, gue bisa juga belajar sambilan buat ekonominya bareng-temen-temen gue yang masuk IPS! And.. ngelanjutin kuliah di jurusan ekonomi.. Hahaha *Gaje!*
Ya udah deh, bingung gue mau nulis apa lagi. See you.. 

Senin, 25 Juni 2012

Minta pendapatt :D

Gimana Cerpennya? Udah dibaca kan? Itu semua karya gue lho.. *sombong dikit kan nggak papa.*. Serius! Cerpen itu karya gue kok! Beneran! Sueeerr! -_-v Gue ngebikinnya waktu ada tugas Bahasa Indonesia. Ada yang fiksi dan Non fiksi sob. Yang Non-Fiksi yang Friend and Love! Tuh cerita gue ambil dari love story temen gue. Namanya Eka. Trus, yang Aku Lepaskan Dirinya dengan Penuh Penyesalan itu cuma tokohnya aja yang real! Ceritanya nggak kok. Hehehe.. Masih inget sama sohib gue yang gue kenalin itu kan? Nah, itu tuh mereka! 
Dari awal, gue udah pernah bilang kan? Kalo cita-cita Gue pengen jadi penulis. Kayak Mbak Esti Kinasih! *Do'a in ngapa!* Tapi.. ya gitu deh! Setiap mau nulis pasti aja gangguan selalu berkelebat disana-sini *Ceileeehhh.. Berkelebat?!* Trus, waktunya juga booo'.. Gue sekolah sampe sore. pulang jam tiga trus les trus bantuin bonyok dagang deh! Kalo malamnya gue nggak sempet juga! Soalnya guru-guru suka banget ngasih PR! Jadi.. lo pada tau lah.. sibuknya gue.. :P
Tapi cerpen Gue bagus nggak? *bagus aja dehh!! :P*
Oke deh! Cukup dulu ya sob.  Nanti gue post lagi. Ok?! Iya.. gue tau lo masih pada kangen sama gue! Tapi gue musti cabut nih.. Adek gue nangis-nangis disebelah nih.. minta gantian main internetnya. *Nyebelin!* *Nanti gue bakal cerita tentang adek gue juga deh. Oke?! Udah dulu ya.. jangan pada nangis gitu donk.. Hikz.. Hikz..  DADAGGHHH..

CERPEN

Aku Lepaskan Dirinya Dengan Penuh Penyesalan
07.15, di sekolah.
            “Unul!”
            Mendengar namaku di panggil, sontak Aku membalikkan badan dan melihat sahabatku, Sari. Ia berlari ke arahku. Ku lihat Ia memakai baju yang sama denganku. Jilbab hitam, baju berlengan pendek yang di lapisi menset panjang berwarna hitam dan dipadukan dengan balutan rok putih panjang pula. Tentu saja busana ini sama. Aku dan Dia kan sekelas.
            Hari ini adalah puncak acara AROEH KAMPOENG SENI BOEDAYA. Yang diadakan sekolahku. Dimana, masing-masing kelas memiliki busana kebanggaannya.
            “Hai. Sudah lama?” sapaku saat Sari sudah berdiri di depanku.
            “Baru saja. Kenapa tadi saat Ku panggil, Kau tidak menjawab?” tanya-nya setelah mendudukkan dirinya di sebuah kursi panjang berwarna merah tua.
            “Benarkah?” sahutku. “Maaf, Aku tidak mendengar.”
            “Oh...” kata Sari.
            “Sar, kekantin, yuk!” Ajakku sambil menarik-narik tangannya agar Dia mau berdiri. Aku seperti anak kecil yang minta di belikan ice cream oleh ibunya.
            “Ngapain? Aku tidak lapar.” jawab Sari dan menukas tanganku.
            “tapi Aku lapar. ayolah!” kataku dengan rada memohon lalu mengambil tangannya lagi. Melihatku seperti itu, Sari hanya bisa menghembuskan napas panjang lalu mengiyakan.
            Di tengah perjalanan menuju kantin, Sari menggerutu padaku. “Kenapa sih, Kamu selalu lapar di pagi hari? Sudah atau belum sarapan, tidak ada bedanya.”
            Aku nyengir lebar padanya. “hehehe.. itu berkah dari Tuhan. Sepertinya.. Aku diberi perut lebih.” kataku dengan nada bercanda. Sari hanya menggeleng-geleng kepalanya.
            Sesampainya di kantin, Aku langsung berlari ke tempat pedagang bakso. “Bibi!!” kataku dengan nada mengejutkan. Namun, tidak berhasil.
            “Eh, Khusnul. Mau makan bakso?” tanya-nya. Ia sibuk memotong-motong sayur kol.
            Enggak Bi, Saya mau jual ikan! Ya jelaslah mau beli bakso.
            Kataku dalam hati. Tapi dengan sigap menjawab “Yup.”
            Setelah mendapat pesananku dan membayar, Aku duduk di kursi plastik berwarna biru yang tepat berhadapan dengan Sari. Kami sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan masing-masing. Aku sedang melahap hidanganku sementara Sari sedari tadi sibuk dengan ponslnya.
            Beberapa saat kemudian, di mangkuk-ku tinggal tersisa 2 potong pentol bakso. Aku lahap salah satunya.
            “Hah?!” kata Sari dengan nada terdengar seperti teriakkan.
            Aku tersedak mendengar jeritannya. Aku buru-buru minum es teh yang sedari tadi sudah berdiri di mejaku. Dan... masuklah makanan itu dengan kasar ke perutku.
            “Ada apa?” tanyaku dengan cemas. “kenapa berteriak?”
            Lalu Sari menatap ku dengan ekspresi yang tidak bisa ku gambarkan. “Ada apa?” tanyaku sekali lagi. kali ini Aku benar-benar cemas.
            “Pulsa ku habis! Padahal baru tadi malam Aku mengisinya.”
            Aku terperangah mendengar jawabannya. “What?” kataku, memekik. “Sari, Ku kira ada apa! Kalau hanya tentang pulsa, jangan se-parno gitu kali.” lanjutku dengan geram. Tapi Dia sama sekali tidak menggubris perkataanku.
            Ku lanjutkan acara makanku. Aku mengambil satu potong pentol bakso yang tersisa dan akan melahapnya. Tapi, tiba-tiba terhenti karena jeritan Sari terdengar lagi.
            “APA?” katanya. Kali ini suaranya terdengar lebih tinggi dua octaf dari sebelumnya. Aku kembalikan pentol bakso itu dengan pasrah dan menghembuskan napas berat.
            “Sari, please deh! Kalau Kamu kehabisan pulsa, Kamu kan tinggal membelinya. Tidak perlu histeris seperti itu. Dan kalau pulsamu hilang tanpa jejak lagi, Ku sarankan agar ganti saja kartumu.” kataku. Seperti menjelaskan pada anak kecil bahwa 1+1=2.
            “Unul, Ayo cepat!” sahut Sari yang dengan cepat menyambar tasnya dan berlari keluar kantin. Aku pun mengikutinya tanpa pikir panjang. Dengan cepat juga Aku menyambar tasku yang tergeletak lemas di atas meja dan berlari kecil mencoba mengejar Sari.
            Saat langkah ketiga, Aku menyadari sesuatu yang bulat tergeletak pasrah di mangkuk-ku. Beberapa detik kemudian Aku berbalik dan berkata dalam hati. “Mubazir!” Aku pun melahap pentol bakso itu lalu berlari lagi mengejar Sari.
            “Sar, tunggu!” Kataku dengan mulut yang masih penuh.
            Aku mencoba mengejarnya tapi Sari terlalu cepat. Aku raih ponsel dari sakuku dan menekan beberapa tombol. Hubungan tersambung, tapi bukan Sari yang menjawab. melainkan operator pusat. Aku mencoba mengirim beberapa pesan, tapi tidak ada balasan. Tiba-tiba..
            “Unul!”
            Aku terkejut. Ku balikkan badan dengan cepat dan sekarang, berdirilah sesosok perempuan yang sangat ku kenali. “Dian!” kataku dengan geram.
            “hehehe..” jawabnya sambil tersenyum lebar. “lagi apa?” lanjutnya.
            “lagi mencari Sari.” Aku melihat kursi panjang yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku berjalan dan duduk disana. Dian pun mengikutiku. Ia duduk disamping kananku.
            “Nul?”
            “hmm?” jawabku yang masih sibuk dengan ponselku.
            “tumben Kamu nggak makan?”
            “udah, dong!” sahutku. Aku masih tidak mengalihkan pandangan dari ponselku.
            “Makan apa? Bakso?” Aku mengangguk.
            “Kamu itu makan terus setiap pagi. Kalau makan nasi masih mending. ini makan bakso. Bisa-bisa perut kamu panas lho.” katanya menasehati.
            Akhirnya Aku alihkan pandangan dari ponselku, dan menatap Dian dengan lekat. “dengar ya, yang makan siapa?”
            “Kamu.” sahut Dian.
            “Yang bayar?”
            “Kamu.”
            “kalo perutnya panas, yang sakit siapa?”
            “Kamu.”
            “nah, ngapain Kamu ributin!” kataku dengan alis terangkat.
            “tapi kan, Aku cuma..”
            “Ah, udah deh.” kataku memotong perkataannya. “Aku nggak ada waktu buat ngebahas ini.” Aku pun bangkit dan berjalan menjauh dari Dian. Ia mencoba memanggilku tapi tidak Ku pedulikan.
            Lima belas menit Aku mencoba mencari Sari tapi tidak Ku temukan. “kemana sih Sari!” gerutuku dalam hati. Acara pembukaan hampir dimulai. Aku harus mencari sahabatku itu. Sekilas Aku melihat dua sosok yang sangat ku kenali.
            “Una! Nadya!” sapaku. Aku berlari menghampiri mereka. Pakaian mereka pun tidak berbeda denganku.
            “Hei.” sapa mereka bersamaan. “pasti lagi nyari Sari? ya, kan?” lanjut Nadya.
            Aku mengangguk cepat. “Lihat nggak?”
            “Lihat! ada di depan gerbang. Lagi nganterin Dian.” sahut Una yang berada di sebelah Nadya.
            “Nganterin Dian? maksudnya?” kataku tidak mengerti.
            “Lho, Kamu nggak tau?  Dian kan mau pindah ke Kal-teng. Kamu nggak dapat sms nya?” Aku menggeleng. “wah, kalau gitu, cepetan! samperin Dia, ucapin salam perpisahan.”
            Tanpa ba-bi-bu lagi, Aku langsung berlari menuju gerbang. Cukup satu menit Aku berlari, gerbang sekolah pun terlihat. Sedangkan diluar gerbang terlihat sebuah mobil hitam sedang berjalan menjauh dari sekolah.
“Sar, mana Dian?” tanyaku setelah berada di samping Sari.
            “udah pergi.” katanya dengan nada lemas.
            “hah? Kenapa Kamu ngggak bilang sama Aku kalau Dian mau pindah?”
            “Aku udah sms dan nelpon kamu. Tapi ponsel kamu nggak aktif.”
            “Aku ganti nomor! Tapi Aku udah coba sms dan telepon kamu juga tadi.”
            “Oh.. jadi itu kamu? Aku kira Cuma orang iseng. makanya nggak ku angkat.”
            Aku menghembuskan napas panjang dan berat. Lalu mengalihkan pandanganku ke arah mobil hitam yang kemudian hilang ditelan kelokan. Seharusnya Aku tadi tidak marah pada Dian. Dia hanya ingin bermaksud baik dengan menasehatiku. Tapi, apa yang ku balas padanya? Aku malah memarahinya.
            Sekarang, Aku menyesali semuanya. Di saat-saat terakhirku bertemu dengannya, bukannya mengucapkan selamat tinggal tapi malah menyakitinya. Dan seharian itu,  Aku pun selalu teringat pada Dian. Tapi nasi telah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Dan Aku menyesal sekali. Hingga saat ini.

CERPEN


Friend and love
Kamu mau nggak jadian sama Aku?
Kata-kata itu terus berdengung di otak cewek yang sudah menduduki bangku kelas 2 Sekolah Menengah Pertama itu. Memang sih masih terlalu awal untuk membuka masa pacaran. Tapi itu dia, masa remaja memang penuh kejutan dan mengejutkan! Benar kan?!
“Tian, Lo kenapa sih? Dari tadi kok senyum senyum sendiri?” tanya Vian yang sudah berada di sebelah Tian. Ia memandang teman sebangkunya itu dengan tatapan ngeri. “jangan-jangan... Lo udah mulai miring, ya?”
Tian cepat-cepat tersadar dan langsung gelagapan. “Lho, kapan Lo datang?”
“Wah, emang bener ada yang nggak beres nih!” katanya dengan tatapan menyelidik.
“Apaan sih?” jawab Tian dengan ketus. “Apanya yang nggak beres?”
“tuh kan, apa Gue bilang! ada yang nggak beres pasti!” sahutnya dengan suara se-yakin-yakinnya.
“Ih, apaan sih?”
“Liat aja. Pertama, Lo nggak liat gue datang! Jelas-jelas Lo lagi menghadap ke arah pintu! Kedua,” katanya sambil mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya hingga berbentuk seperti huruf ‘V’ “Lo nyengir-nyengir sendiri dari tadi. dan ketiga..” Vian mengangkat satu lagi jari manisnya hingga membentuk huruf ‘W’ “Gue yakin Lo nggak denger apa yang barusan Gue tanyain.” jelasnya dengan sorot mata tajam.
“Gue denger kok!” jawab Tian dengan tegas.
“Coba Gue denger Lo ngulangin pertanyaan Gue tadi!” jawab Vian yang tidak kalah tegas dan menantang.
Tian berpikir dengan keras. Mencoba mengingat-ingat apa yang Vian tanyakan tadi. Vian memang sudah bersahabat dengannya sejak pertama kali masuh ke sekolah ini. Makanya Vian tahu betul bagaimana Tian kalau ada sesuatu yang sedang Ia sembunyikan.
“Nah Lo,” kata Vian dengan telak! “nggak bisa jawabkan?”
Untung saja Tian tidak perlu melanjutkan pembicaraannya dengan Vian karena guru bahasa inggris, yaitu Ibu Yanti, sudah memasuki ruang kelas. Tiba-tiba suasana kelas menjadi seperti kuburan. Tidak ada bunyi sekekcil apapun. Bahkan suara Jangkrik yang biasanya berteriak-teriak disebelah kelas kami yang ditumbuhi dengan rumput-rumput lebat saja tidak berani bersuara. Mungkin insting kehewanannya saat ini mencium aroma mengerikan yang baru masuk dari ruangan sebelah rumahnya.
 “Ambil selembar kertas dan siapkan alat tulis kalian. Jangan ada barang sekecil apa pun di atas atau di bawah meja kalian selain peralatan yang Ibu minta. Hari ini kita ulangan tentang Simple Future Tense.” kata Ibu Yanti dengan santai dan berjalan menuju kursinya.
“HAAAAAAAAHHHHHH?!” Spontan seluruh penghuni kelas menjerit kaget. Dan dalam hitungan detik berikutnya suasana kelas yang tadi seperti kuburan menjadi gaduh. Berbagai pertanyaan keluar dari berbagai mulut.
“Duh, gimana nih, Gue nggak belajar tadi malam.” kata salah satu siswi yang berada di jejeran duduk paling depan.
“Gue juga nih.” jawab siswi yang duduk disebelahnya.
“Lo hapal nggak formulanya?” kata siswa yang duduk di deretan kursi paling belakang.
“Ya elah! Boro-boro hapal formulanya, Simple apa tadi katanya? Simple kecebur?!”
Simple Future!”
“nah, itu maksud Gue. Simple Future? Ya ampun, bahasa dari planet mana sih tuh, namanya nggak enak banget didenger.”
“Ya ampun! Lo bego nggak kira-kira ya, Simple Future Tense aja nggak tau.”
“Emang Lo tau?” kata siswa itu lagi dengan sewot.
“Ya nggak lah! kalo Gue tau, ngapain juga Gue tanya ama Lo!”
“Huhh.. dasar Lo! Gue kirain Lo tau.”
“Lo juga sih, bego ngajak-ngajak Gue.”
“SHUT UP!!!!!!”
Semua orang pun terdiam dan duduk diam dengan tangan yang terlipat rapi di atas meja ketika terdengar teriakkan Ibu Yanti. “Yang keberatan dengan  ini silahkan keluar!”
Hening. Tidak ada yang menjawab.
“Buset dah! Nih Ibu galak banget sih, bisa-bisa Ki Joko Bodo aja langsung lari terbirit-birit kalau ketemu Dia!” Bisik salah satu siswa ke arah ku. Spontan Ibu Yanti menatapnya. “Vian, any something wrong? Or are you wanna go out of here?
No, thanks Mam.” jawab Vian dengan cepat.
“Good.” Ibu Yanti mengalihkan pandangannya kepada seluruh penjuru kelas. “Ready?”
“YES!!!” sahut seisi kelas.
OK. Soalnya adalah...”
Akhirnya ulangan yang sangat menegangkan itu berakhir. Semua murid sama sekali tidak bisa bediskusi karena Ibu Yanti selalu saja berkeliling ruangan. Setelah bayangan Ibu Yanti menghilang di ambang pintu, seisi kelas mulai ribut lagi. Ada yang medebatkan soal ulangan tadi dan ada yang langsung buka buku buat melihat apa jawaban mereka benar apa tidak:?!
“Lo dapet nge-jawab berapa tadi?” tanya salah seorang Siswa yang berada di ujung kelas. “Cuma dua. yang lain Gue biarin kosong. Yang dua itu nggak tau deh bener apa nggak-nya.”
“Huh syukur deh.. ternyata ada yang lebih parah dari Gue. Untung aja!” jawab siswa didepannya.
“Emangnya Lo ngejawab berapa tadi?”
“Tiga! tapi waktu nulis kalimat yang ketiga, eh ternyata waktunya habis. Ya udah, jadi dua setengah deh.”
“kalo gitu sih sama aja bo’ong!” katanya dengan nada datar.
“An, Lo tadi bisa jawab berapa soal?” tanya Andi yang sudah ada disebelah mejanya dan Vian.
“Lo nanya sama ‘An’ yang mana nih?” kata Vian sambil menatap lurus mata Andi.
“Yang mana aja deh.”
“Kalo Gue sih Cuma bisa delapan soal. Tapi kalo Vian bisa semuanya tuh.” jawab Tian dengan sigap.
Vian langsung memutar bola matanya dan langsung menatap tajam pada temannya. “Lo kok tau, An? Lo nyontek Gue, ya?“
Yang ditanya nyengir-nyengir saja. “Ih, nggak lagi, Gue tadi nggak sengaja Liat.”
“apa bedanya coba?” sahut Andi dengan nada sedikit menggoda sambil mejawil lengan Tian.
“Ihh.. beda dong. Kalo nyontek, sengaja liat terus di tulis. Sedangkan Liat, nggak sengaja.”
“tapi tetep ditulis.” sahut Andi lagi menahan tawa.
“hehehe.. masa rejeki mau ditolak sih.” jawab Tian sambil ikut-ikut menahan tawa juga.
“Ah.. udah! Udah!” tukas Vian sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah. “Ada yang mau Gue omongim nih sama Tian, lebih baik Lo cepet-cepet kembali ke alam Lo deh, Ndi.”
Tanpa basa-basi lagi Andi langsung menyingkir dengan muka cemberut. Ia menggerutu tidak jelas. Satu-satunya yang bisa Tian tangkap adalah “Huh, dasar cewek! Selalu aja main rahasiaan.” Tian hanya mengulum senyum mendengar gerutuannya itu.
“Udah, jangan dipikiran tentang Andi! Sekarang Lo jelasin apa yang ngebuat Lo bersikap seperti tadi pagi?”
Tian mulai salah tingkah. Ia tidak tahu harus menajwab apa. Masa Dia harus nge-jawab, “Sekarang Gue udah punya pacar, Vi. Kita nggak usah ke kantin bareng lagi. oke?”
Buset dah! Sadis banget! Kata Tian dalam hati.
“Jangan-jangan Lo... lagi ditembak cowok, ya?” kata Vian dengan mata menyelidik.
Tian yakin sekarang pipinya mulai memerah. “Apaan sih?!”
“Udah lah, An. Lo nggak bisa bohong sama Gue. Kita temenan nggak satu atau dua bulan aja. Tapi udah dua tahun. Jadi Lo nggak bisa deh bohong sama Gue.” Tian tidak menjawab. “Jadi.. Siapa tuh cowok? Anak kelas sini?” lanjut Vian dengan penuh pengertian.
Tian menjawab dengan gelengan. “Siapa?” desak Vian.
“Yuda.” jawab Tian yang hampi terdengar seperti bisikan.
“Siapa? Yuda?” sahut Vian dengan kaget. Matanya seperti ingin keluar saja dari tempatnya.
Dengan sigap, Tian membungkam mulut Vian dengan tangannya. “Ssstt.. jangan kenceng-kenceng dong. Malu tauuu...”
Vian segera menyingkirkan tangan sahabatnya itu dan bicara dengan nada lebih rendah. “Wuih! Keren banget, Lo bisa pacaran sama Yuda.” kata Vian terkagum-kagum.
“Hoho.. Gue juga nggak percaya.” jawab Tian dengan mata berbinar-binar.
Seharian itu Tian sangat senang. Vian dengan senang hati mendengarkan curhatan sahabatnya. Sebenarnya Yuda udah berkali-kali sms dan nelpon Tian buat kekantin bareng. Tapi, Tian menolak karena masih malu-malu. Apalagi ini kan pacar pertamanya. Tapi dengan lembut Tian menolak. Katanya, “kasihan Vian kalau ditinggal sendirian.” Dan Yuda pun tidak ada masalah dengan itu semua. Dia mengerti bahwa Vian adalah sahabat baik Tian. Dan mereka selalu berdua kemana mana. Di akhir-akhir pembicaraan mereka, Vian bertanya pada Tian dengan serius. “Jadi, kenapa Lo nerima Yuda jadi pacar Lo?”
Tian berpikir dengan keras. “Mmm..”
“Tian.. jangan bilang kalo Lo nggak tau kenapa Lo nerima Yuda jadi pacar Lo!”
“Ya iya lah Gue tau. Karna Gue suka sama Yuda.”
Akhirnya Vian menghembuskan napas lega. “Syukur deh. Gue kira Lo kepaksa tadi.”
Kepaksa? atau emang itu yang Tian rasakan sekarang ini. Tapi dibalik itu semua, hati kecil Tian berkata ‘atau mungkin Aku tidak ingin menyia-nyiakan orang yang menyayangiku. Karena Aku tidak ingin bertepuk sebelah tangan lagi.’
Ke esokan harinya Tian bercerita lagi bagaimana Yuda merayunya lewat SMS.
“Tau nggak Vi, kata Yuda ‘Kamu bener-bener manis deh Say. Apalagi kalo lagi cemberut, Kamu makin imut aja.’” kata Tian bercerita dengan penuh antusias.
“Cieeeeeeee....... melayang dong tadi malam, abis digomabalin sama pacar pertama.”
Tian hanya tersenyum tersipu-sipu mendengar tanggapan Vian. Tapi tiba-tiba, ‘BRUKK!!’ sebuah tas terhempas di atas mejanya. Jantung Tian hampir saja keluar dan memarahi pemilik tas itu karena  sangat kagetnya (itu pun kalo jantung Tian bisa keluar!).
Tian spontan berdiri menghadap si pemilik tas. “Apa-apaan sih Lo, Di? Kalo ada masalah sama Gue bilang dong, jangan ngaget-ngagetin Gue kayak ini.”
“Sori-sori.” jawab Andi dengan napas yang turun naik. “ada sesuatu yang mau Gue beri tau sama Lo, An.” katanya. Lalu cepat-cepat menambahkan, “maksud Gue, Tian.”
“Jadi Gue nggak boleh denger nih?” tanya Vian dengan suara yang terdengar tersinggung. Ia sudah siap-siap bangkit sebelum Andi menghalanginya.
“Eh, yang nyuruh Lo keluar itu siapa? Lo boleh denger kok.”
“Emangnya ada apa, sih? Lo dapet gebetan baru? Atau Lo berhasil nembak senior Kita terus diterima?” sahut Vian saat Ia duduk kembali. “Siapa namanya  sih tuh? Fe, Fe siapa?” lanjut Vian sambil menerawang ke atas atap. Siapa tahu nama orang itu tiba-tiba saja sedang mengambang diatasnya.
“Febri!” jawab Tian, membenarkan.
“Ih.. sori, ya! Eke masih normal bo’” elaknya. “Lo berdua mau denger nggak sih? Kalo nggak mau ya udah!” lanjut Andi dengan nada cemberut.
“Eh!!!” cegah Vian sambil memegang tangan Andi. “Iya deh, honey. Silahkan bicara. Kami berdua yang cantiknya nggak terkira ini bakalan mendengarkan kamu dengan senang hati kok.” lanjutnya dengan mengedipkan satu matanya kearah Andi.
Andi kembali ke tempatnya. “ih, apaan sih Lo! Ngeri Gue dengernya.” katanya dengan melepaskan tangan Vian dari tangannya.
“Gini. Pertama, Gue mau minta maaf sama Lo, An. maksud Gue, Tian. Karna Gue udah nguping pembicaraan kalian kemarin. Dan Gue juga nggak bermaksud ngerusak hubungan Lo. Tapi..”
“Eh, jadi Lo denger omongan Gue kemarin sama Vian?!” potong Tian rada marah.
“Iya. Gue minta maaf banget.”
Tian hampir saja meluapkan kemarahannya pada Andi kalau saja sahabatnya itu tidak memegang tangannya dengan erat. “Udah An. Gue tau kok gimana orangnya si Andi. Mulutnya nggak beberan, kok.”
Andi malah senyum-senyum sendiri mendengar pujian itu. “Udah deh, Ndi. Bukan waktunya buat ke-ge-er-an. Sekarang jelasin, apa maksud Lo kalo Lo nggak bermaksud ngehancurin hubungan Tian?” lanjut Vian dengan wajah penasaran.
“Gini, Gue denger dari temennya temen Gue, kalo..”
“Kalo apa?” desak Tian.
“Kalo Yuda itu udah punya pacar!” Lanjut Andi dengan nada semakin lemah di setiap katanya.
Napas Tian tercekat. Ia tidak bisa lagi mendengar keriuhan disekitarnya. Yang bisa ditangkap telinganya sekarang hanya detak jantungnya sendiri. Wajahnya mulai memanas.Matanya digenangi Air. “A.. apa?” Kata Tian dengan nada tercekat.
“Lo jangan ngada-ngada deh, Ndi. Lo cuma iri kan sama Tian karena Tian udah punya pacar?” kata Vian dengan nada membentak.
“Dengar ya, sebagai temen yang baik Gue cuma pengen ngasih tau Tian. Gue nggak mau aja Tian terluka! Dan Gue juga nggak pernah sirik sama Tian atau Yuda!” sahut Andi dengan duara yang tidak kalah kerasnya. Ia pun kembali ke tempat duduknya dengan kesal.
“Udah, An. Dia Cuma iri kok sama Lo.” Vian pun mengelus-elus punggung sahabatnya itu.
Tapi sudah terlambat. Setetes air mata Tian sudah jatuh dari keLopaknya. Lalu mengalir lebih deras lagi tanpa henti. “Nggak, An. Andi pasti bicara sebenernya. Gue harus nyari tau langsung dari Yuda.”
Dengan sigap Ia raih ponsel dari dalam tas dan mengetikkan beberapa nomor. Hubungan pun tersambung.
“HaLo Say, tumben nelpon. Biasanya kalo Aku ajak Kamu malah nggak mau.” sapa Yuda di seberang sana.
“Yud, Aku mau bicara sama Kamu sekarang! Aku tunggu di belakang sekolah.”
“Kamu kenapa Say? kayaknya Kamu nangis. Ada apa? Siapa yang buat Kamu begitu?”
“Kamu!” Hubungan pun terputus.
Dengan segera Tian menghambur keluar. Vian ingin mengejar sahabatnya itu tapi tiba-tiba tangannya di cengkram erat oleh Andi yang sudah berdiri lagi disebelahnya. “Biarin Dia pegi dan belajar ngatasin masalahnya sendiri.” Kata Andi dengan wajah super serius.Vian pun mengangguk lemah.
Seperti yang Tian duga. Halaman belakang sekolah memang selalu sepi. hanya ada satu orang disana. Dia sedang bersandar didinding sambil menyobek-nyobek rumput ditangannya. Yuda! Tidak salah lagi! Dia Yuda!
Laki-laki itu mengalihkan pandangannya pada Tian. Ia tatap perempuan yang sedang menatapnya juga dan langsung berlari kearahnya. “Ya ampun, Tian. Kamu kenapa? Kok Kamu..”
“Kamu udah punya pacar?” potong Tian dengan suara makin tercekat.
“A.. apa? Kamu ngomong apa sih?” tanya Yuda tidak mngerti.
Tian pun menceritakan apa yang Ia dengar dari Andi. “Jadi.. semua itu benar?”
Hening. Tidak ada jawaban. “Jawab, Yud!” bentak Tian.
Andi mengangguk lemah. “tapi, Aku udah putus sama Dia waktu Aku pertama kali lihat Kamu.” tambah Yuda dengan cepat.
“Oh, Gitu? Jadi, Kalo Kamu ngelihat cewek yang lebih sempurna dari pada Aku, nantinya Kamu bakal mutusin Aku juga? Hah?” bentak Tian lagi. Kali ini amarahnya benar-benar memuncak. “Tega banget Kamu, Yud!”
Tian pun membalikkan badan dan pergi meninggalkan Yuda sendirian. ia tidak peduli lagi dengan semua murid yang melihatnya dengan nanar. Yang penting sekarang Ia ingin kembali ke kelas dan menangis dipelukan sahabatnya itu.
Sesampainya di kelas Tian melihat Andi sedang duduk di bangkunya dengan Vian. Untung saja Andi cukup tahu diri dan langsung beranjak dari duduknya setelah melihat Tian masuk ke ruangan.
Dengan sigap Vian langsung membentangkan tangannya dan menyambut pelukan sahabatnya itu. Setelah tangis Tian mulai reda, Vian mencoba membuka pembicaraan. “Jadi.. semua itu benar?” Tian mengangguk.
“Sudahlah, An. Semuanya udah berlalu. Lo pernah denger kan, kalo masa remaja penuh dengan kejutan dan mengejutkan?” Tian mengangguk lagi. “Nah, ini lah kejutan masa remaja Lo. Yaitu Lo buka awal masa pacaran Lo sama Yuda. Dan yang mengejutkannya adalah ternyata si Yuda masih punya pacar saat Dia nembak Lo.” Kata Vian menjelaskan dengan bijak. “Dan Ini juga adalah pelajaran buat Lo sendiri. Jangan pernah nerima cowok buat jadi pacar Lo dengan entengnya. Lo harus lihat dulu seluk beluk cowok itu. Baru Lo bisa mutusin, apa Dia pantas sama Lo atau nggak?!” Tian yang masih dalam dekapan Vian mengangguk lagi.
Vian memegang kedua bahu Tian. Mencoba melepaskan pelukannya. Ia tatap kedua mata yang bengkak itu dengan senyum yang mengembang. “Gue yakin! Setelah semua ini, Lo bakal dapet cowok yang lebih baik dari pada Yuda.” Katanya dengan tatapan penuh pengertian.
“Iya, An. Gue juga bakal ngedo’a-in Lo kok, biar dapet cowok yang lebih baik lagi.” sahut Andi yang masih berda disebelah Tian.
Tian pun menatap kedua orang itu bergantian lalu tersenyum pada mereka berdua. “Iya. Lo bener, An. Maksud Gue Andi dan Vian.”
Mereka bertiga pun saling bertukar pandang lalu tertawa bersama-sama. “Kok nama panggilan singkat Kita semua sama ya?” kata Vian ditengah tawanya.
“Iya. Bener juga. Jangan-jangan Kita berojolnya juga bareng bareng, lagi?” sahut Andi. tawanya makin keras.
Tian hanya tersenyum melihat mereka berdua.
“Sepertinya Gue udah dapet yang lebih baik dari pada Yuda” bisiknya dalam hati. “Yaitu Kalian.” lanjutnya dengan senang.

~THE END

CERPEN


BIARKAN SUKSES MENGEJARMU

            Aku baru terbangun dari tidurku. Untung saja hari ini hari minggu. Jadi Aku bisa tidur lebih lama dari biasanya. Samar-samar, kudengar suara ayah dan ibuku yang sedang bercakap-cakap di ruang tamu. Aku segera bangkit dan menyambar handuk yang sudah tergantung dikursi belajarku lalu pergi mandi.
            Tidak lama kemudian, Aku selesai mandi dan segera bergabung dengan Ayah dan Ibuku yang masih sibuk membicarakan sesuatu.
            “Sandra, Kamu sudah bangun, Nak? Ayo duduk sini. Ada yang ingin Ayah dan Ibu bicarakan sama Kamu.” Ujar Ibuku yang langsung menggeser duduknya. Memberi luang padaku untuk duduk diantara mereka.
            Aku menuruti. “Ada apa, Bu, Yah? Sepertinya penting sekali.” tanyaku penasaran.
            “Begini Sandra. Kamu kan tahu bagaimana keadaan ekonomi keluarga kita?” Jawab Ibu sambil mengusap rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku hanya diam tidak mengerti.
            “Keuangan keluarga kita sangat menurun saat ini. Ayah dan Ibu sudah berusaha untuk menabung sedikit demi sedikit. Tapi selalu saja ada keperluan-keperluan yang mendesak.”
            “Jadi?” Kataku masih tidak mengerti.
            “Jadi Ayah dan Ibu minta maaf sekali. Karena Kamu tidak dapat melanjutkan pendidikanmu ke perguruan tinggi.” sahut Ayah dengan penuh penyesalan.
            Aku terkejut. Rasanya wajahku mulai memanas. “Ta.. tapi Yah, Aku ingin masuk ke fakultas kedokteran. Itu adalah impi..”
            “Sandra,” Sela Ibuku dengan nada yang sama seperti Ayah. “Ayah dan Ibu sangat menyesal.
            “Aku tidak dapat membensung air mataku lagi. Sambil menangis, Aku bangkit dan langsung berlari kekamar.
***
            Esoknya, Aku pergi kesekolah dengan muka awut-awutan. Pelajaran pun tidak ku gubris dengan baik. Teman-teman dan wali kelasku yang kebetulan saat itu sedang mengajar menjadi prihatin dengan sikapku. Karena biasanya Aku termasuk orang yang periang dan cermat dalam pelajaran.
            Saat istirahat kedua, Bu Ratna, wali kelasku, memanggilku kekantor. Dia bertanya ada apa denganku. Aku tidak tahan lagi. Jadi ku ceritakan saja pada wali kelasku itu tentang masalahku. Bu Ratna mendengarkan semuanya dengan seksama. Saat Aku sudah selesai bercerita, beliau berkata,
            “Kamu benar-benar ingin masuk ke fakultas kedokteran, Sandra?”
            “Iya, Bu. Sejak kecil, cita-cita Saya adalah menjadi seorang dokter bedah.” jawabku.
            “Kalau begitu, tanpa uang pun bisa.” Ujar Bu Ratna dengan senyum tulus.
            Dahiku berkerut menatap Bu Ratna, tidak mengerti. “Maksud Ibu?”
            “Dengarkan pepatah ini Sandra. Jangan biarkan dirimu mengejar kesuksesan. Tapi buatlah kesuksesan itu mengejar dirimu. Ucap Bu Ratna dengan bijak.
            Aku menatp Bu Ratna dengan dalam. Aku mulai mengerti sekarang. Semangatku mulai muncul lagi. Aku segera meraih tangan Bu Ratna dan Menciumnya. Lalu Aku pamit untuk kembali kekelas.
***
            UAN tinggal satu minggu lagi. Masih ada waktu untuk menebus semuanya.
            Siang dan malam Aku belajar dengan giat yang disertai juga dengan do’a pada sang pencipta Dan moto hidup dari Bu Ratna.
            Akhirnya hari itu datang juga. Hari diamana usaha belajarku selama ini dipertaruhkan. Tak sedikit pun terbesit dalam niatku untuk mengambil jalan pintas dalam menghadapi soal-soal ujian. Soal demi soal terus Aku pahami dengan benar. Hingga akhirnya UAN pun selesai dan pengumuman kelulusan juga tiba.
            Jantungku berdegup hebat menunggu secarik kertas yang akan menentukan jalan hidupku selanjutnya. Tidak lama kemudian, Ayahku keluar dari ruang kelasku. Ia menyodorkan sebuah amplop putih padaku.
            Aku membukanya dengan tidak sabar. Jantungku semakin berdegup hebat. Saat semuanya terbuka, terpampanglah sebuah tulisan bergaya TNR (Times New Roman) dengan ukuran tulisan kira-kira dua puluh. LULUS. begitulah tulisannya.
            Kontan, Aku langsung memeluk ayahku dan menangis dibahunya. Tapi ritual itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba ada sebuah suara yang memanggilku dari belakang. Aku berbalik dan mendapati Bu Ratna sedang berdiri yang didapingi seorang pria lebih tua darinya.
            “Selamat ya Sandra.. Kamu lulus dengan nilai terbaik. Ibu bangga sama Kamu.” Ujar Bu Ratna yang langsung memelukku. “Oh, ya. Ini, Kenalkan. Bapak ini adalah teman lama Ibu. Dia adalah salah satu rektor di fakultas kedokteran.” Pria itu menyalamiku dengan penuh senyum. Aku pun membalas senyumnya dengan sopan.
            “Iya nak Sandra.. Saya sudah mendengar semuanya dari Bu Ratna. Termasuk tentang cita-cita kamu yang kuat. Sekarang saya mau menawari kamu untuk menjadi salah satu mahasiswi kedokteran dengan gratis. Dan Saya juga akan mendaftarkan kamu pada jalur beasiswa. Tapi Kamu harus mengikuti berbagai tes dulu. Bagaimana? Kamu tertarik?” Jelas pria itu.
            Aku sangat terkejut. Aku pandang Bu Ratna, Dia membalasku dengan senyum. Aku berbalik dan memandang Ayahku. Sepertinya Ayahku juga sangat terkejut. Tapi setelah beberapa saat, Dia tersenyum padaku seakan-akan berkata ‘semuanya terserah pada keputusanmu, Nak.’ Lalu Aku memablikkan badan dan menatap pria itu dan berkata, “Bapak sungguh-sungguh?”
            “Iya. Saya sungguh-sungguh.” balas pria itu.
            Air mataku mulai mengucur lagi. “I.. Iya Pak. Saya mau. Saya mau.” Sahutku. Yang diiringi air mata bahagia.
            Memang benar kata Bu Ratna. Jangan biarkan dirimu mengejar kesuksesan. Tapi buatlah kesuksesan itu mengejarmu.

Kenalin donk.. MY Bro nih.. ^^


LOOOHHHAAAA... gue dateng lagi buat second post! Kali ini gue bakal ngebahas My Brother nih.. Namanya Pathur Razi Ansyah. Biasanya nickname-nya Pathur atau Azi! Si abang ini sedang muter-muter otak di salah satu universitas di BJM. Yaitu Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). Dulunya si Amank ini udah pernah duduk di SDN Antasan Besar 7 *Sama kayak gue* trus dilanjutin di SMPN 2 Banjarmasin *Sama kayak gue juga* dan di sambung lagi ke SMKN5 Banjarmasin. 
Oke oke oke.. Gue nggak bakal nasi basi lagi deh! Eh, maksudnya basa basi! Nih, kita liat aja langsung biodata nya. Chekidot yaw..

Nama: Patrur Razi Ansyah
Nick: Pathur or Azi
Ttl: Banjarmasin, 10 0ktober 1992
Hobi: Main futsal, browsing.
Agama: ISLAM (So pasti..)
Pendidikan: SDN AB7 BJM>> SMPN2 BJM>> SMKN5 BJM>> UNLAM (POLITEKNIK MESIN)

Wokkeh! Udah kenal sama Kakak gue kan sekarang?! Ya udah deh. sampe disini dulu yaw! Gue mau nge post yang lain lagi nih :P .. DUDUY...!!