Senin, 25 Juni 2012

CERPEN

Aku Lepaskan Dirinya Dengan Penuh Penyesalan
07.15, di sekolah.
            “Unul!”
            Mendengar namaku di panggil, sontak Aku membalikkan badan dan melihat sahabatku, Sari. Ia berlari ke arahku. Ku lihat Ia memakai baju yang sama denganku. Jilbab hitam, baju berlengan pendek yang di lapisi menset panjang berwarna hitam dan dipadukan dengan balutan rok putih panjang pula. Tentu saja busana ini sama. Aku dan Dia kan sekelas.
            Hari ini adalah puncak acara AROEH KAMPOENG SENI BOEDAYA. Yang diadakan sekolahku. Dimana, masing-masing kelas memiliki busana kebanggaannya.
            “Hai. Sudah lama?” sapaku saat Sari sudah berdiri di depanku.
            “Baru saja. Kenapa tadi saat Ku panggil, Kau tidak menjawab?” tanya-nya setelah mendudukkan dirinya di sebuah kursi panjang berwarna merah tua.
            “Benarkah?” sahutku. “Maaf, Aku tidak mendengar.”
            “Oh...” kata Sari.
            “Sar, kekantin, yuk!” Ajakku sambil menarik-narik tangannya agar Dia mau berdiri. Aku seperti anak kecil yang minta di belikan ice cream oleh ibunya.
            “Ngapain? Aku tidak lapar.” jawab Sari dan menukas tanganku.
            “tapi Aku lapar. ayolah!” kataku dengan rada memohon lalu mengambil tangannya lagi. Melihatku seperti itu, Sari hanya bisa menghembuskan napas panjang lalu mengiyakan.
            Di tengah perjalanan menuju kantin, Sari menggerutu padaku. “Kenapa sih, Kamu selalu lapar di pagi hari? Sudah atau belum sarapan, tidak ada bedanya.”
            Aku nyengir lebar padanya. “hehehe.. itu berkah dari Tuhan. Sepertinya.. Aku diberi perut lebih.” kataku dengan nada bercanda. Sari hanya menggeleng-geleng kepalanya.
            Sesampainya di kantin, Aku langsung berlari ke tempat pedagang bakso. “Bibi!!” kataku dengan nada mengejutkan. Namun, tidak berhasil.
            “Eh, Khusnul. Mau makan bakso?” tanya-nya. Ia sibuk memotong-motong sayur kol.
            Enggak Bi, Saya mau jual ikan! Ya jelaslah mau beli bakso.
            Kataku dalam hati. Tapi dengan sigap menjawab “Yup.”
            Setelah mendapat pesananku dan membayar, Aku duduk di kursi plastik berwarna biru yang tepat berhadapan dengan Sari. Kami sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan masing-masing. Aku sedang melahap hidanganku sementara Sari sedari tadi sibuk dengan ponslnya.
            Beberapa saat kemudian, di mangkuk-ku tinggal tersisa 2 potong pentol bakso. Aku lahap salah satunya.
            “Hah?!” kata Sari dengan nada terdengar seperti teriakkan.
            Aku tersedak mendengar jeritannya. Aku buru-buru minum es teh yang sedari tadi sudah berdiri di mejaku. Dan... masuklah makanan itu dengan kasar ke perutku.
            “Ada apa?” tanyaku dengan cemas. “kenapa berteriak?”
            Lalu Sari menatap ku dengan ekspresi yang tidak bisa ku gambarkan. “Ada apa?” tanyaku sekali lagi. kali ini Aku benar-benar cemas.
            “Pulsa ku habis! Padahal baru tadi malam Aku mengisinya.”
            Aku terperangah mendengar jawabannya. “What?” kataku, memekik. “Sari, Ku kira ada apa! Kalau hanya tentang pulsa, jangan se-parno gitu kali.” lanjutku dengan geram. Tapi Dia sama sekali tidak menggubris perkataanku.
            Ku lanjutkan acara makanku. Aku mengambil satu potong pentol bakso yang tersisa dan akan melahapnya. Tapi, tiba-tiba terhenti karena jeritan Sari terdengar lagi.
            “APA?” katanya. Kali ini suaranya terdengar lebih tinggi dua octaf dari sebelumnya. Aku kembalikan pentol bakso itu dengan pasrah dan menghembuskan napas berat.
            “Sari, please deh! Kalau Kamu kehabisan pulsa, Kamu kan tinggal membelinya. Tidak perlu histeris seperti itu. Dan kalau pulsamu hilang tanpa jejak lagi, Ku sarankan agar ganti saja kartumu.” kataku. Seperti menjelaskan pada anak kecil bahwa 1+1=2.
            “Unul, Ayo cepat!” sahut Sari yang dengan cepat menyambar tasnya dan berlari keluar kantin. Aku pun mengikutinya tanpa pikir panjang. Dengan cepat juga Aku menyambar tasku yang tergeletak lemas di atas meja dan berlari kecil mencoba mengejar Sari.
            Saat langkah ketiga, Aku menyadari sesuatu yang bulat tergeletak pasrah di mangkuk-ku. Beberapa detik kemudian Aku berbalik dan berkata dalam hati. “Mubazir!” Aku pun melahap pentol bakso itu lalu berlari lagi mengejar Sari.
            “Sar, tunggu!” Kataku dengan mulut yang masih penuh.
            Aku mencoba mengejarnya tapi Sari terlalu cepat. Aku raih ponsel dari sakuku dan menekan beberapa tombol. Hubungan tersambung, tapi bukan Sari yang menjawab. melainkan operator pusat. Aku mencoba mengirim beberapa pesan, tapi tidak ada balasan. Tiba-tiba..
            “Unul!”
            Aku terkejut. Ku balikkan badan dengan cepat dan sekarang, berdirilah sesosok perempuan yang sangat ku kenali. “Dian!” kataku dengan geram.
            “hehehe..” jawabnya sambil tersenyum lebar. “lagi apa?” lanjutnya.
            “lagi mencari Sari.” Aku melihat kursi panjang yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku berjalan dan duduk disana. Dian pun mengikutiku. Ia duduk disamping kananku.
            “Nul?”
            “hmm?” jawabku yang masih sibuk dengan ponselku.
            “tumben Kamu nggak makan?”
            “udah, dong!” sahutku. Aku masih tidak mengalihkan pandangan dari ponselku.
            “Makan apa? Bakso?” Aku mengangguk.
            “Kamu itu makan terus setiap pagi. Kalau makan nasi masih mending. ini makan bakso. Bisa-bisa perut kamu panas lho.” katanya menasehati.
            Akhirnya Aku alihkan pandangan dari ponselku, dan menatap Dian dengan lekat. “dengar ya, yang makan siapa?”
            “Kamu.” sahut Dian.
            “Yang bayar?”
            “Kamu.”
            “kalo perutnya panas, yang sakit siapa?”
            “Kamu.”
            “nah, ngapain Kamu ributin!” kataku dengan alis terangkat.
            “tapi kan, Aku cuma..”
            “Ah, udah deh.” kataku memotong perkataannya. “Aku nggak ada waktu buat ngebahas ini.” Aku pun bangkit dan berjalan menjauh dari Dian. Ia mencoba memanggilku tapi tidak Ku pedulikan.
            Lima belas menit Aku mencoba mencari Sari tapi tidak Ku temukan. “kemana sih Sari!” gerutuku dalam hati. Acara pembukaan hampir dimulai. Aku harus mencari sahabatku itu. Sekilas Aku melihat dua sosok yang sangat ku kenali.
            “Una! Nadya!” sapaku. Aku berlari menghampiri mereka. Pakaian mereka pun tidak berbeda denganku.
            “Hei.” sapa mereka bersamaan. “pasti lagi nyari Sari? ya, kan?” lanjut Nadya.
            Aku mengangguk cepat. “Lihat nggak?”
            “Lihat! ada di depan gerbang. Lagi nganterin Dian.” sahut Una yang berada di sebelah Nadya.
            “Nganterin Dian? maksudnya?” kataku tidak mengerti.
            “Lho, Kamu nggak tau?  Dian kan mau pindah ke Kal-teng. Kamu nggak dapat sms nya?” Aku menggeleng. “wah, kalau gitu, cepetan! samperin Dia, ucapin salam perpisahan.”
            Tanpa ba-bi-bu lagi, Aku langsung berlari menuju gerbang. Cukup satu menit Aku berlari, gerbang sekolah pun terlihat. Sedangkan diluar gerbang terlihat sebuah mobil hitam sedang berjalan menjauh dari sekolah.
“Sar, mana Dian?” tanyaku setelah berada di samping Sari.
            “udah pergi.” katanya dengan nada lemas.
            “hah? Kenapa Kamu ngggak bilang sama Aku kalau Dian mau pindah?”
            “Aku udah sms dan nelpon kamu. Tapi ponsel kamu nggak aktif.”
            “Aku ganti nomor! Tapi Aku udah coba sms dan telepon kamu juga tadi.”
            “Oh.. jadi itu kamu? Aku kira Cuma orang iseng. makanya nggak ku angkat.”
            Aku menghembuskan napas panjang dan berat. Lalu mengalihkan pandanganku ke arah mobil hitam yang kemudian hilang ditelan kelokan. Seharusnya Aku tadi tidak marah pada Dian. Dia hanya ingin bermaksud baik dengan menasehatiku. Tapi, apa yang ku balas padanya? Aku malah memarahinya.
            Sekarang, Aku menyesali semuanya. Di saat-saat terakhirku bertemu dengannya, bukannya mengucapkan selamat tinggal tapi malah menyakitinya. Dan seharian itu,  Aku pun selalu teringat pada Dian. Tapi nasi telah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Dan Aku menyesal sekali. Hingga saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar